Fatamorgana Sepakbola Indonesia
Kamis, 15 Oktober 2015 | 18:20:28
Rabu (14/10) kemarin, cuaca di Surabaya sedang panas-panasnya.
Berdasarkan prakiraan cuaca dari Stasiun Meteorologi Klas I Juanda
Surabaya BMKG Jawa Timur (Jatim), suhu Kota Pahlawan dan sekitarnya
mencapai angka 35 derajat celsius. Tepat pukul 12.00, saya beranjak dari
pusat kota menuju kampung halaman, Gresik. Ketika sudah sampai di Jalan
Romokalisari, terpampang pemandangan yang amat menarik. Di sisi kiri,
tampak dari kejauhan kemegahan Stadion Gelora Bung Tomo (GBT). Sedangkan
di sisi kanan, terlihat venue 'balbalan' anyar milik warga Kota Pudak,
yakni Stadion Gelora Joko Samudro (GJS).
Keberadaan Stadion GBT
dan GJS mengingatkan kita akan dua bangunan olahraga yang ada di Kota
Liverpool, yakni Stadion Anfield yang menjadi markas Liverpool FC, dan
Goodison Park, kandang Everton FC. Kedua stadion yang berjarak kurang
dari 1 kilometer ini, hanya dibatasi sebuah area terbuka bernama Stanley
Park. Sementara itu, Stadion GBT dan GJS hanya terpaut jarak kurang
dari 3 kilometer. Keduanya juga dipisahkan oleh Kali Lamong yang juga
menjadi pemisah antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Gresik.
Saya
membayangkan bagaimana jadinya jika Persegres Gresik United dan
Persebaya Surabaya menggelar sebuah pertandingan yang bersamaan, baik
tanggal maupun jamnya. Stadion GBT akan menghijau oleh atribut Bonek.
Sedangkan Stadion GJS diselimuti warna kebanggan Ultras Gresik, yakni
kuning-biru. Yel-yel penyemangat menggelegar dari dua tempat ini. "Yo
ayo, ayo Persegres. Sore ini kita harus menang," teriak puluhan ribu
Ultras Gresik yang memadati Stadion GJS. Koreo-koreo indah diperagakan
oleh para penggila Laskar Joko Samudro.
Di seberang sana,
atmosfer Stadion GBT juga tak kalah bergemuruh. "Kami ini Bonek Mania.
Kami selalu mendukung Persebaya. Dimana kau berada, kami selalu ada.
Karena kami Bonek Mania," begitu kira-kira lirik lagu penyemangat yang
dikumandangkan Arek-arek Bonek untuk mendukung Persebaya. Mexican wave
membuat pertandingan semakin meriah. Ah, sungguh indah momen ini.
Merinding rasanya bila melihat ritual ini dilakukan kala kondisi stadion
tengah penuk sesak oleh puluhan ribu suporter.
Tengah asyik
menikmati situasi ini, saya dikejutkan oleh sebuah truk kontainer yang
tiba-tiba keluar dari gudang tanpa memberikan isyarat. Seketika, roda
motor saya berhenti oleh cengkraman double cakram yang mulai aus.
Ah sial, rupanya hanya fatamorgana. Cuaca sangat terik di Kota
Surabaya, membuai saya hingga ke alam bawah sadar. Sampai-sampai saya
lupa bahwa sepakbola profesional Indonesia sedang mati suri karena
perseteruan antara pemerintah dengan induk organisasi. Kapan sepakbola
Indonesia kembali sehat wal afiat seperti sedia kala? Auk dah, nggak
jelas, vroh.
Hingga saat ini kita tak bisa memastikan kapan sepakbola ini akan normal lagi. Meski tampak adem ayem,
tak ada pertarungan komentar, kondisinya sebenarnya sudah semakin
ruwet. Banyak pemain-pemain sepakbola profesional kita, mengambil resiko
dengan turun di turnamen antar kampung (tarkam). Padahal upahnya tak
sebanding dengan konsekuensi cedera yang menghantui. Ada pula sejumlah
insan sepakbola yang mulai meninggalkan dunia yang telah membesarkannya.
Saya teringat perbincangan ringan dengan mantan pemain Persebaya
Surabaya dan Mitra Kukar, M. Fachrudin. Saat ini, Fachrudin memutuskan
untuk rehat dari sepakbola.
Sebenarnya ini adalah keputusan yang
berat bagi pria yang pernah memperkuat PSIS Semarang dan Deltras
Sidoarjo ini. Bagaimana tidak, Fachrudin sedang menapaki karier sebagai
pelatih. Bapak dua anak ini pernah ditunjuk sebagai asisten pelatih klub
Divisi Utama, PS Mojokerto Putra. Bersama Anang Ma'ruf. Fachrudin juga
tercatat sebagai salah satu coach di SSB Simo Putra. Namun pria
yang selalu tampil modis ini menjelaskan, situasi dan kondisi saat ini
tidak memungkinkan untuk menekuni bidang sepakbola. "Sekarang saya
sedang menggagas bisnis kuliner dan chemical," tuturnya.
Fachrudin
mengungkapkan, saat ini para orang tua sudah berpikir dua kali untuk
menyekolahkan putranya di SSB. "Soalnya khawatir masa depan anaknya di
sepakbola," beber Fachrudin. Bisa jadi, keputusan sejumlah pesepakbola
muda kita yang menjadi anggota TNI, seperti Manahati Lestusen, Wawan
Febrianto, M Abduh Lestaluhu, Teguh Amiruddin, M. Dimas Drajad dan Ravi
Murdianto, adalah karena mereka melihat tak ada masa depan cemerlang
jika kondisi sepakbola Indonesia masih 'gini-gini' saja.
Lalu,
jika para orang tua saja sudah mulai ragu mempertaruhkan masa depan
anaknya di dunia si kulit bundar, mungkinkah kita akan kekurangan bibit
pesepakbola handal? Kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib cita-cita
agung masyarakat sepakbola kita untuk melihat Tim Nasional (Timnas)
Indonesia menjadi peserta Piala Dunia? Masa iya kita harus mengubur
mimpi untuk melihat Timnas Indonesia diperkuat anak bangsa yang memiliki
kualitas seperti David Beckham, Andrea Pirlo, Andriy Shevchenko,
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Ahh, sudah-sudah. Ayo bangun, jangan berkhayal lagi, vroh. (faw/dzi)/bola.net
BERITA LAINNYA
BERIKAN KOMENTAR